SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI BLOG Pon- Pes MIFTAHUL HUDA PESAWAHAN RAWALO BANYUMAS

Wednesday, April 3, 2019

Renungan Santri Pasca Hul PPMH Rawalo #Umniatul Labibah,M.Hum

#Renungan untuk santri Miftahul Huda
Moment haul dan haflah PP Miftahul Huda yang telah usai digelar, menyisakan banyak cerita. Diantaranya adalah karena moment haul dan haflah yang diadakan setahun sekali ini juga menjadi ajang silaturahim dan temu kangen para alumni yang telah tersebar di berbagai daerah dengan beragam kesibukan dan latar belakang pekerjaan dan kehidupan sosialnya yang beraneka macam.

Dalam ajang ini selain jadi moment selfa-selfi, tak luput pula menjadi media tabayun dan tasyawur. Salah satunya, isu pilpres pun tak lepas dari perkara yang di-tabayunkan oleh para alumni dan wali santri. 

Dengan suasana santai dan sambil medangan njagong ndeprok ala santri, setidaknya saya coba sampaikan dua hal. Pertama, ahlus sunnah sebagai paradigma dan sebagai   falsafah hidup yang harus di pegang erat. Ini penting disampaikan, mengingat para alumni kini tersebar di berbagai daerah, tak sedikit hidup di perkotaan dengan tantangan model kemasan agama yang beragam.

Banyak tawaran model ber-islam yang mungkin terlihat seolah lebih ng-islami, lebih profesional, modern, tidak udik atau tradisional seperti yang selama ini di kenal di kampung tempat mereka mengaji. 
Dalam hal ini, saya ingatkan bagaimana simbah nyai selalu berpesan : "urip iku ojo gumun, ojo getun" (hidup itu jangan jadi orang kagetan, mudah terpukau dengan hal-hal yang  menyilaukan, pun jangan mudah menyerah, jangan mudah menyesali sesuatunya). Falsafah ini harus dipegang, dalam mana saat ini begitu banyak hal2 yang tampak silau di mata awam, tetapi jika dilihat dengan kedalaman batin ternyata dangkal. Banyak ustadz-ustadz yang seolah-olah sangat tinggi ilmunya, pandai bicara dan sering tampil di televisi. Tetapi sebenarnya ilmu agamanya masih "cethek", sekedar nasfrif saja salah, atau malah mualaf yang baru belajar agama dari google. Jadi, ojo gumun dengan yang "wah", lihatlah keikhlasan para kyai kampung, mengajar agama tanpa kamera, mengajar ngaji tanpa gaji. Mereka adalah emas tersenyumbunyi bangsa ini, penjaga akhlak bangsa.

Kedua, kebangsaan sebagai sudut pandang bermasyarakat. Bangsa besar ini pendirinya adalah para ulama, khususnya ulama nahdliyin. Para ulama kita, ulama nahdliyin telah berijtihad bahwa untuk menjaga agama kita tidak harus mendirikan negara islam. Ulama kita bertolak dari model negara bangsa yang dibangun nabi di Madinah dengan "piagam madinah"nya yang bervisi humanis dan egalitarian.
Paham kebangsaan ini harus menjadi "point of view" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Artinya, pada titik inilah barisan kita berdiri. Maka jika ada barisan dimana di dalamnya berisi orang atau paham atau kelompok atau organisasi yang berupaya merongrong paham keutuhan kebangsaan Indonesia, tidak ada pilihan kecuali kita harus keluar dari barisan tersebut.

Sederhana saja, keaswajaan dan kebangsaan adalah kita. Maka, berdirilah di barisan dimana keduanya ditegakkan. Lihatlah dengan hati, jangan silau dengan julukan ulama atau ustadz, sementara kalian hanya mengenalnya lewat televisi. Kyai kita adalah kyai kampung, yang mengajarkan alif ba ta pada kita. Kyai kita memiliki keilmuan yang bersanad, sanadnya nyambung dengan para ulama nahdliyin kita. Ulama yang kita tahu dan kenal kesehariannya karena mereka adalah bagian dari umat bukan besar karena bagian dari media.

Tulisan ini, hanya sekedar renungan untuk para santri miftahul huda, semoga kita semua diselamatkan Alloh dari buruknya masa. Semoga Alloh melindungi jam'iyyah kita.amiin
#SantriUntukNegri
#NgopibarengKangsantri
#NgajibarengSantri
#PAHAMSantri
#SantriIndonesia
Umniatul labibah,S.Thi.M.Hum
Ketua Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran Miftahul Huda Rawalo (STIQ)
03/04/19